BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Hukum udara dan
angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hokum internasional
yang relative baru karena mulai
berkembang pada permulaan abad ke 20
setelah munculnya pesawat udara. Setiap
negara pada dasarnya memiliki kedaulatan
penuh dan ekskusif atas wilayah
udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan
salah satu prinsip
yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara.
yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara.
Hukum penerbangan
baru timbul ketika manusia mulai
mengarungi udara dan erat berhubungan
dengan kemajuan-kemajuan yang
dicapai dalam lapangan teknik penerbangan,
terutama dalam beberapa tahun
sebelum dan sesudah perang dunia.
Hukum udara dan hukum
angkasa merupakan lapangan hukum yang tersendiri,
karena hukum udara ini mengatur
suatu obyek yang mempunyai sifat yang
khusus. Hukum udara internasional
mengenal beberapa teori delimitasi
ruang udara dan ruang angkasa. Antara
lain Schater Air Space Theory diperkenalkan
oleh Oscar Scahater. Jenks Free Space
Theory (teori ruang angkasa bebas)
diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks, Haley’s
International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan
oleh Andrew G. Haley dan Cooper’s
Control Theory (teori pengawasan)
diperkenalkan oleh John Cobb
Cooper.
Banyaknya para ahli
memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi ruang
udara dan ruang angksa. Mereka memberikan
warna tersendiri dan pemahaman yang
mendalam serta teliti.
Pendapat mereka
dijadikan sebagai doktrina (pendapat
para ahli hukum) sebagaimana tertera
dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional.
Dan dijadikan sebagai sumber
hukum formil bagi para hakim dalam
memutus sebuah perkara hukum.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari
penulisan makalah ini adalah:
1.
Apakah pengertian hukum udara?
2.
Bagaimana konvensi-konvensi hokum udara
?
3.
Bagaimana status yuridik ruang angkasa?
4.
Bagaimana pembentukan organisasi penerbangan
sipil internasional?
5.
Apakah Sumber-sumber hokum internasional?
C.
Tujuan Penulisan
Tujun dari penulisan
makalah ini adalah:
1.
Mengetahui apa pengertian hokum udara
itu
2.
Mengetahui bagaimana konvensi- konvensi
hukum udara itu
3.
Mengetahui bagaimana status yuridik ruang
angkasa
4.
Mengetahui Bagaimana pembentukan organisasi
penerbangan sipil internasional.
5.
Mengetahui Sumber-sumber penerbangan
indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
KONSEP
HUKUM UDARA DAN ANGKASA
A.
Konsep Hukum Udara
Hukum udara dan
angkasa luar (antariksa) merupakan
salah satu cabang hukum
internasional
yang relative baru karena mulai
berkembang pada permulaan abad
ke
20 setelah munculnya pesawat udara. Mengenai
kelautan Negara di udara di atas wilayahnya,
Gerhard Von Glahn mengemukakan sejumlah
teori yaitu :
a.
Berlakunya kebebasan penuh di ruang udara
seperti di laut lepas.
b.
Yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai
1000 kaki diatas bumi dengan status
udara yang diatasnya yang bebas seperti di
laut lepas.
c.
Seluruh ruang udara di atas Negara tanpa adanya
batas ketinggian dianggap sebagai udara
nasional dengan memberikan hak lintas
kepada semua pesawat udara yang terdaftar
di Negara-negara sahabat.
d.
Kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang
udara nasional tanpa batas ketinggian.
1.
Pengertian Hukum Udara
Hukum
udara adalah seluruh norma-norma hukum yang khusus mengenai penerbangan
, pesawat-pesawat terbang dan ruang
udara dalam peranannya sebagai
unsur yang perlu bagi penerbangan
(otto riese dan jean T. Lacour).
Hukum
udara dapat ditafsirkan sebagai segala
peraturan hukum yang mengatur obyek
tertentu, yaitu udara. Dengan tafsiran
ini maka pengertian hukum udara akan
menjadi sangat luas, karena akan meliputi
hukum public nasional dan internasional
mengenai udara c). Status
Yuridik Ruang Udara
2.
Wilayah Udara Nasional
Pasal 1
konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan
: Negara-negara pihak mengakui
bahwa tiap-tiap Negara mempunyai
kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang
udara ang terdapat di atas
wilayah. Konvensi Chicago 1944 mengambil
secara integral prinsip yang terdapat
dalam konvensi paris 1919. Kedua konvensi
tersebut dengan sengaja menjelaskan
bahwa wilayah Negara juga terdiri
dari laut wilayahnya yang berdekatan.
Hal ini
juga dinyatakan oleh pasal 2 konvensi
jenewa mengenai laut wilayah dan oleh
pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang
hukum laut 1982. Ketentuan- ketentuan
yang berlaku terhadap navigasi udara,
termasuk udara diatas laut wilayah, sama
sekali berbeda dengan ketentuan- ketentuan
yang mengatur pelayaran maritime.
Terutama tidak ada norma- norma
hukum kebiasaan yang memperolehkan secara
bebas lintas terbang diatas wilayah Negara,yang dapat disamakan
dengan prinsip hak lintas damai di
perairan nasional suatu Negara.
Masalah
pengawasan dan keamanan lalu lintas
udara dan pengamatan atas pesawat- pesawat
udara merupakan aspek sangat penting
dalam pengaturan-pengaturan hukum yang
dibuat oleh Negara-negara. Demikianlah
untuk memperkuat ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam konvensi,
Negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan
bilateral atau regional di bidang kerja sama pengawasan ataupun
keamanan.
3.
Ruang Udara Internasional
Kedaulatan
teritorial suatu Negara berhenti
pada batas-batas luar dari laut wilayahnya.
Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap
ruang udara yang terdapat diatas laut lepas
atau zona-zona dimana Negara- negara
pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat
seperti atas landas kontinen.
Atas
alasan keamanan, status kebebasan yang
berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin
bersifat absolute. Pasal 12 konvensi
Chicago dengan alasan keamanan tersebut
menyatakan bahwa diatas laut lepas
ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan
yang dibuat oleh ICAO sehubungan
dengan penerbangan dan maneuver
pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex
dari konvensi. Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap.
Pertama karena kekuasaan pengaturan
oleh ICAO terbatas pada penerbangan
sipil dan tidak berlaku terhadap
pesawat-pesawat udara public walaupun
majelis dari ICAO telah menyarankan
kepada Negara-negara pihak untuk
memasukkan dalam legislasi nasionalnya
masing-masing ketentuan- ketentuan
yang juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat
public yaitu ketentuan- ketentuan
udara seperti yang terdapat dalam
annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai
wewenang pelaksanaan, kepada
masing-masing pihaklah diberikan wewenang
untuk mengambil tindakan agar pesawat
udara yang mempunyai kebangsaan dari
Negara tersebut yang berada diatas laut
lepas atau zona eksklusif
menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan
dan peraturan- peraturan yang berlaku (pasal 12 konvensi).
4.
Pembentukan Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (ICAO).
Fungsi
ICAO adalah untuk mengembangbangkan
prinsip-prinsip dan teknik navigasi
internasional dan memperkuat perencanaan
dan pengembangan alat angkutan udara internasional
sehingga dapat melaksanakan perkembangan
penerbangan sipil internasional secara
teratur dan aman. Walaupun terdapat
interprestasi yang ekstensif atas
wewenang yuridiksional dewan dari
ICAO, Negara lebih suka menyelesaikan
sengketa-sengketa bilaretal mereka
melalui cara penyelesaian sengketa yang biasa
seperti ke Mahkamah Internasional atau
membentuk suatu tribunal arbitral.
Selama
perang dingin banyak Negara yang mengajukan
pengaduannya ke mahkamah internasional
yang menyangkut keamanan penerbangan
sipil. Sebagai contoh insiden udara yang
terjadi antara iran dan amerika
serikat pada tanggal 3 juli 1988.
B.
Konsep Hukum Angkasa
1. Sejarah
Perkembangan
Bila
status yuridik laut lepas merupakan bagian
dari ketentuan-ketentuan hokum internasional
yang paling tua, maka sebaliknya
statusnya yuridik angkasa luar merupakan
karya yang paling baru karena hanya
berkembang semenjak permulaan tahun 1960
an. Hukum angkasa ini bersifat orisinil
bila ditinjau dari kondisi bagaimana
lahirnya, dan dari beberapa aspek,
hukum angkasa ini juga bersifat klasik
kalau dilihat dari karakteristik pokok
rejim yuridiknya seperti halnya dengan
rezim laut lepas. Pembentukan hukum
angkasa luar ini ditandai oleh kecepatan
dan kelancaran relative dimana masyarakat
internasional dengan segala telah
dapat merumuskan kesepakatan- kesepakatan
atas sekumpulan prinsip-prinsip dasar segara sesudah peluncuran satelit
pertama sputnik oleh uni soviet pada bulan
oktober 1957 dan kemudian disusul
oleh peluncuran manusia pertama ke angkasa
luar, yuri Gagarin, juga dari uni soviet
pada tahun 1961.
Kegiatan
Negara-negara dibidang eksplorasi
dan peman.faatan angkasa luar dengan
peluncuran ke angkasa luar berbagai
satelit dengan cepat tela menjadi beraneka ragam
seperti pengawasan wilayah-wilayah yang
dilintasi, pencarian sumber-sumber alam
darat dan laut, siaran radio dan
televise langsung, hubungan telepon,
penentuan posisi kapal-kapal, meteorology,
observasi astronom dan berbagai
eksperimen lainnya.
2.
Resolusi-Resolusi Majelis Umum
Hukum
angkasa luar ini berbeda dari cabang-cabang
hukum internasional lainnya mempunyai
ciri-ciri khusus yaitu sifat
hukumnya yang asli, menyangkut kepentingan
yang bersifat universal dan peranan
penting yang diamainkan oleh negara-negara adi daya
uni soviet dan amerika serikat. Ciri-ciri khas ini terutama peranan
kedua Negara adi daya tersebut telah
menyebabkan prosedur pembuatan hukum
antariksa cukup unik yang dimulai dengan
perundingan-perundingan bilateral antara
kedua Negara diatas yang dilanjutkan
dengan pembahasan- pembahasan di majelis
umum PBB. Majelis umum merumuskan
prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh
resolusi-resolusi dan perjanjian-perjanjian
yang bersifat universal.
Pada
permulaan awal November 1963, majelis
umum menerima sesuatu resolusi mengenai
pelucutan senjata (res.1149-Xll) yang
berisikan kepeduliannya atas bahaya penggunaan
angkasa luar untuk tujuan militer.
Kemudian dalam semangat yang sama,
majelis umum pada tanggal 17 oktober
1973 menerima resolusi yang meminta
Negara-negara anggota untuk tidak
menempatkan di orbit benda-benda yang
membawa senjata nuklir atau senjata pemusnah massal
lainnya.
Pada tahun
1961 di tahun peluncuran yuri Gagarin
dengan pesawat ruang angkasanya, majelis
umum pada tanggal 20 desember 1961
menerima resolusi pertamanya bersifat
substantive yang mencanangkan prinsip
kebebasan ruang angkasa. Dua tahun
kemudian pada tahun 1963, majelis umum
menerima deklarasi prinsip-prinsip
yuridik yang mengatur kegiatan-kegiatan
Negara di bidang eksplorasi dan
penggunaan angkasa luar . Deklarasi yang juga diterima oleh amerika serikat
dan uni soviet tersebut talah memungkinkan
masyarakat internasional untuk
merumuskan suatu perjanjian internasional
umum mengenai ruang angkasa. Berkat
perundingan-perundingan yang
berhasil dengan baik antara uni soviet dan
amerika serikat dan hasil-hasil karya dari
komite penggunaan secara damai
angkasa luar, akhirnya majelis umum pada
tanggal 19 desember 1966 menerima
perjanjian internasional mengenai
prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan-kegiatan
Negara dibidang eksplorasi dan
penggunaan angkasa luar termasuk
bulan dan benda-benda angkasa alamiah
lainnya. Perjanjian ini dapat dianggap
sebagai dokumen hukum induk bagi
kegiatan-kegiatan di ruang angkasa luar.
Perjanjian
ini secara serentak dibuka untuk
penandatanganan di London, moskow dan
Washington tanggal 27 januari 1967 dan
dengan cepat mulai berlaku tanggal 10
oktober tahun yang sama.
Sesuai
dengan namanya dan atas keinginanuni soviet dokumen hukum tersebut hanya semacam
kerangka yang menyebutkan prinsip-prinsip
umum yang selanjutnya harus
diperjelas, dirinci dan dilaksanakan.
Komite
Penggunaan Secara Damai Ruang Angkasa
Luar Pada tahun 1958 segera setelah peluncuran satelit
buatan pertama, majelis umum PBB memutuskan
untuk mendirikan suatu AD Hoc
Commite On the Peacefull Usus of the outer
Space.
BAB
III
INSTRUMEN HUKUM UDARA
A. Konvensi
Paris 13 Oktober 1919
Pada
tanggal 13 oktober 1919, di paris ditandatangani
konvensi internasional mengenai
navigasi udara yang telah disiapkan
oleh suatu komosi khusus yang dibentuk
oleh dewan tertinggi Negara- negara
sekutu. Konvensi paris tersebut merupakan
upaya pertama pengaturan internasional
secara umum mengenai penerbangan udara.
Disamping
itu Negara- negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan
bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip
yang dimuat dalam konvensi. Terhadap
Negara-negara bekas musuh, pasal 42
konvensi paris memberikan persyaratan bahwa Negara- negara
tersebut hanya dapat menjadi Negara
pihak setelah masuk menjadi anggota
pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau
paling tidak atas keputusan dari ¾ Negara-negara
pihak pada konvensi. Pada tahun
1929, setelah direvesi dengan protocol
15 juni 1929 yang bertujuan untuk menerima
keanggotaan jerman dalam LBB, konvensi
paris 1919 betul-betul menjadi konvensi
yang bersifat umum karena sejak mulai
berlakunya protocol tersebut tahun 1933,53
negara telah menjadi pihak. Perubahan
tersebut dilakukan oleh komisi Internasional
Navigasi Udara dalam sidangnya di paris
tanggal 10-15 juni 1929.
Rezim baru
tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a.
Negara-negara bukan pihak pada konvensi
1919 dapat diterima tanpa syarat apakah
Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak
dalam perang dunia
b.
Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat
kesepakatan-kesepakatan khusus dengan
Negara-negara yang bukan merupakan
pihak pada konvensi dengan syarat
bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut
tidak bertentangan dengan hak- hak
pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip umum
konvensi.
c.
Protocol 1929 meletakkana prinsip kesama
yang absolute bagi semua Negara dalam
komisi internasional. Masing-masing Negara
pihak tidak boleh lebih dari dua wakil
dalam komisi dan hanya memiliki satu suara.
B. Konvensi
Chicago 1944
Konferensi
Chicago membahas 3 konsep yang
saling berbeda yaitu:
a.
Konsep internasionalisasi yang disarankan
australi dan selandia baru.
b.
Konsep amerika yang bebas untuk semua.
Konsep persaingan bebas atau free enterprise.
c.
Konsep intermedier inggris yang menyangkut
pengaturan dan pengawasan. Setelah
melalui pendebatan yang cukup panjang
dan menarik akhirnya konsep inggris
diterima oleh konferensi. Pada akhir
konverensi sidang menerima tiga insrtumen
yaitu :
1.
Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional
2.
Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara
internasional
3.
Persetujuan mengenai alat angkutan udara
internasional.
Konvensi
Chicago 7 desember 1944 mulai berlaku
tanggal 7 april 1947. Uni soviet baru
menjadi Negara pihak pada tahun 1967.
Konvensi ini membatalkan konvensi paris
1919, demikian juga konvensi interamerika Havana 1928. Seperti konvensi paris
1919, konvensi Chicago mengakui validitas
kesepakatan bilateral yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang
ini jumlah kesepakatan- kesepakatan
tersebut sudah melebihi angka
2000.
C. Perjanjian-perjanjian
Internasional Yang Diterima Majelis Umum
Sebagai
kelanjutan deklarasi 1963 dan perjanjian
internasional 1967, majelis umum
menerima 4 perjanjian tambahan yang
melengkapi dari mengembangkan dokumen-dokumen
yang telah ada yaitu:
a.
Persetujuan mengenai penyelamatan astronot,
pengembalian astronot dan resitusi
benda-benda yang diluncurkan keruang
angkasa tanggal 22 april 1968, Res.
No.2345 (XXII).
b.
Konvensi mengenai tanggung jawab internasional
untuk kerugian yang disebabkan
benda-benda spasil tanggal 29 maret
1972, Res. 2223 (XXIX) 19 desember 1966.
c.
Konvensi mengenai imatrikulasi benda- benda
yang duiluncurkan ke angkasa luar tanggal 14
januari 1975, Res. 3235 (XXIX).
d.
Persetujuan yang mengatur kegiatan- kegiatan
Negara di bulan dan benda-benda ruang
angkasa lain, tanggal 18 desember 1979, Res
34/68.
e.
Kegiatan-kegiatan dan sumber-sumber PBB,
badan-badan khusus dan badan- badan
internasional lainnya mengenai penggunaan
secara damai ruang angkasa luar.
f.
Kerjasama internasional dan program- program
di bidang yang kiranya dapat dilakukan
dibawah naungan PBB.
g.
Pengaturan-pengaturan organisasi untuk mempermudah
kerjasama internasional dalam
rangka PBB.
h.
Masal-masal hukum yang dapat muncul dalam
kegiatan eksplorasi ruang angkasa ada juga
beberapa teori yang dilahirkan dari
Organisasi Internasional, Perjanjian Internasional,
Cara Bekerja Sebuah Pesawat Angkasa, Cara
Bekerja Transmisi Gelombang Radio,
Teori Orbit Satelit.
Antara lain :
a)
Teori ICAO (International Civil Aviation Organization).
Teori ini
berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago
tahun 1944 dengan segenap annex- nya yang
menggunakan batas berlakunya ketentuan
hukum udara internasional.
Dimulai
batas maksimum yang dapat dipakai
oleh pesawat udara (aircraft) dengan
mendefinisikan pesawat udara sebagai”.
Setiap alat yang mendapat gaya angkat
aerodinamis di atmosfir karena reaksi
udara (any machine can derive support in
the atmosphere from the reaction
of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan
secara jelas dan pasti batas ketinggian
kedaulatan suatu negara atas ruang
udaranya. Dapat dikatakan bahwa ruang
angkasa dimulai pada saat tidak ada reaksi
udara menurut teknologi penerbangan
berkisar 25 mil sampai 30 mil dari
permukaan bumi atau sekitar 60.000
kaki.
b)
Teori Transmisi Radio.
Teori ini
didasarkan pada sifat gelombang yang
memancar melalui perantaraan konduktor
atmosfir udara dapat ditentukan bahwa
batas ruang angkasa dimulai dari batas
maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus
batas tersebut melainkan kembali
memantul ke bumi ketinggian berdasarkan
teori berkisar 150 mil sampai 300 mil
dari permukaan bumi.
c) Teori
Outer Space Treaty 1967.
Teori ini
memberi batas antara ruang udara dan
ruang angkasa berdasarkan teori
titik terendah orbit suatu satelit atau suatu
space objects. Pembatasan teori outer
space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini
bergantung pada karakteristik suatu satelit
buatan dan kepadatan atmosfir di suatu
orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini,
ruang angkasa dimulai pada ketinggian
80 Km diatas permukaan bumi yang
merupakan batas ketinggian minimum
(lower limit) dari suatu orbit satelit.
d) Teori GSO
(Geo Stationary Orbit).
Teori ini
dipakai oleh negara-negara “kolong”
dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa
termasuk Indonesia untuk memperjuangkan
klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi
dan mengeksploitasi kekayaan alam di
ruang angkasa yang berbentuk cincin
ketinggian berkisar 36.000 km dari
permukaan bumi. Teori ini lahir dari
kegigihan perjuangan negara- negara
equator (khatulistiwa) untuk memperoleh
preferential rights atas GSO (Ida Bagus
Rahmadi Supancana, E Saefullah
Wiradipradja, Mieke Komar Kantaatmadja,
1988). Ide ini diusulkan pada
sidang ke-22 sub komite hokum UNCOPOUS
(United Nations Committee of Peacefull
of Outer Space) untuk memperkuat
argumentasi yuridis atas kekayaan
alam ruang angkasa bagi negara- negara
khatulistiwa.
e) Teori
Pesawat Lockheed U-2
Milik Amerika
Serikat dengan kemampuan terbang
berkisar 78. 000 kaki. Pesawat LU-2 jenis
pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR.
Sehingga menimbulkan perang argumentasi
antara Uni Soviet dan Amerika
Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes
Amerika karena pesawat udaranya
telah memasuki wilayah udara Uni
Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa pesawatnya
terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah
ruang angkasa yang bebas dari klaim
kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR
berpegang pada Air Code Soviet
yang berbunyi:
“The
Complete and exclusive
sovereignity over the airspace of USSR shall be long to
the USSR.Air space of USSR shall be deemed
to be the air space above the land and
water territory of the USSR including the
space above territorial waters as determined
by laws of USSR and by international
treaties”
f) Teori
Space Shuttle atau teori Orbiter.
Untuk,memperkuat
argumentasi yuridis masalah status hukum
pesawat ulang-alik yang banyak
menimbulkan silang pendapat di
kalangan ilmuan hukum udara.
Beberapa
ilmuan hukum udara masih belum bisa
menarik kesimpulan tentang penundukan
hukum atas pesawat ulang alik. Di
satu sisi tunduk pada hokum ruang
angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum
udara internasional. Karena sifat- sifat
kendaraan tersebut selalu berubah- ubah,
kadang sifatnya sebagai pesawat angkasa
dan juga sebagai pesawat udara biasa (K
Martono, 1987). Untuk memperkuat
argumen yuridis berkenaan dengan
batas delimitasi ruang udara dan ruang
angkasa dapat dilihat dari proses kerja
pesawat ulang alik pada saat menjalankan
misinya.
Meluncur
ke ruang angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching
(peluncuran), tahap orbital (penempatan
ke orbit), dan tahap descend (pulang turun
kembali ke bumi memasuki atmosfir).
Turunya pesawat dengan gaya
aerodinamis menggunakan reaksi
udara mirip pesawat udara komersial
biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat
diambil teori penentuan delimitasi
ruang udara dan ruang angkasa. Teori
tersebut adalah batas ruang udara berlaku
pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan
terbakar disusul dua roket pendorong
lepas pada ketinggian 50 mil dari
permukaan bumi.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masalah penetapan
garis batas antara ruang udara dan ruang
angkasa adalah suatu kenyataan bahwa Negara- negara
di dunia ini mengakui perlu adanya penegasan
mengenai perbatasan antara ruang
udara yang berada dalam kedaulatan
penuh suatu Negara dan ruang angkasa
yang bebas dan hanya digunakan untuk
kepentingan kemanusiaan dan perdamaian.
Status hukum pesawat angkasa
bolak-balik ini telah mulai dipersoalkan
sejak tahun 1974, pada saat pembuatan
konvensi tentang registrasi benda-benda
yang diluncurkan ke ruang angkasa(registration
convention 1974). Para ahli hukum pada
umumnya berpendpat bahwa “space shuttle” mempunyai
status hukum pesawat angkasa, bukan
sebagai pesawat udara, karenanya
tunduk pada ketentuan- ketentuan
hukum angkasa dan tidak pada konvensi
Chicago 1944 serta peraturan- peraturan
hukum udara lainnya. Teori ini lahir
untuk memperkuat argumentasi klaim
batas kedaulatan sebuah negara atas ruang
udara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
udara internasional. Namun teori ini juga
dapat diterapkan untuk mengetahui
batas ketinggian jelajah pesawat
udara komersial. Sehingga apabila terjadi
kecelakaan pesawat udara. Dapat dipakai
sebagai dasar argumentasi
B.
Saran
Dari pernyataan
diatas maka harus ada penegasan
pembatasan antara pesawat udara dan
pesawat angkasa agar tidak terjadi
kesalahan paham atas batas- batasnya.
Oleh karena itu dibuatlah hukum-hukum
mengenai keduanya itu.
DAFTAR
PUSTAKA
- Mieke komar kontaatmadja.1989.Hukum Udara dan Angkasa. Remaja Karya.Bandung.
- Suherman.1978. Hukum Udara Indonesia dan Internasional.Alumni.Bandung.
- Junaidi indrawadi.2006.hukum internasional.Proyek Sitem Penyusunan Program Pedoman dan Penganggaran.Padang
- Laode Muh Syahartian SH MH, dekan Fakultas Hukum Universitas Putra Bangsa Surabaya. Kontak person: 081 331 87083 Email: laode.syahartian@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan tanda bahwa anda pernah di sini !