TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS
KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN
MAKALAH
Oleh :
Ahmad Syarifudin
D1A010311
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
©2012
PEMBAHASAN:
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan
mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia–Malaysia
membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan
Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal
kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No.
4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut
Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan.
Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat
mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim
bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan,
dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua
pulau tersebut dalam “status quo”.
Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru
dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian (1992) kedua
negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan
pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi
menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama. Namun
dari serangkaian pertemuan yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak
berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi
kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk
Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan
kebuntuan forum itu.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala
Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober
1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi
wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement
for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between
Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P.
Ligitan”. Special
Agreementitu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International
(MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan
di MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya
berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih
memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written
pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000
dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing”
dari kedua negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan
menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus
(SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu,
Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati
Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co
agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk
Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl
(International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses
hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup
banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan
kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk
membayar pengacara.
ICJ/MI
dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status
kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan
oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu
“Continuous
presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”.
Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor
to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah
Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s
argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
Mahkamah kemudian menyatakan
bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut
adalah dengan menerpakan doktrin effective
occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah
keputusan adannya cut-off date atau
sering disebut critical date dan
bukti-bukti hukum yang ada.
Critical
date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional
adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti
pembangunan resort dianggap
tidak berdampak hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum
1969. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru
terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16
September 1963.
Dapat dimengerti bilamana hampir
semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan
jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari
Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di
pulau-pulau tersebut.
Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional
yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupationberasal dari konsep Romawi occupatio yang
berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara
fisik.Effective occupation sebagai
suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan
pada terra nulliusatau
wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan
dan disengketakan oleh negara. Effective
occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh
perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan
dengan hukum yang jelas.
Karena
temasuk doktrin internasional, effective
occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk
pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang
mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan
hukum.
MI dalam penyelesaian kasus ini
menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian
dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat
Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan
terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut
Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia
berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang
secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
MI juga menolak argumentasi
Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah
kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891.
Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation line dan
berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak
dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau
tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi
sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki
kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga
menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak
disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan
efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969
sebagai critical date mengingat
argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan
klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
1. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia,
Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan
kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula
halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya
bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud
hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.
4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan
Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah
menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam
tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah
kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam
bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau
sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan
penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan
pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar
burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar
sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum
sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan,
Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
a. Indonesia mengajukan bukti-bukti
adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk
kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan
adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan
pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain
itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia
pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa
bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal
nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan
pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum
pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti
Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara
kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah
berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena
Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap
patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari
latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga
tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.
Mengenai kegiatan perikanan
nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons
cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of
official regulations or under governmental authority” Oleh karena
kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan
Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa
kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation.
Mahkamah berpandangan bahwa
berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda
dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah
ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris
tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of
authority over territory which is specified by name”.
Esensi keputusan ini bukanlah
seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan
lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu
pulau terpencil untuk menunjukkan effective
occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan
hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya
tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak
memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga
kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan
perundang-undangan.
Kesimpulan:
Bahwa
bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti
hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia
mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas
kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh
sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September
1963.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan tanda bahwa anda pernah di sini !