Translate

Januari 18, 2013

Makalah Hukum Udara Dan Angkasa Internasional




BAB I

PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang.
Hukum udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hokum internasional yang relative baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke 20 setelah munculnya pesawat udara. Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip
yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional. Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara.
Hukum penerbangan baru timbul ketika manusia mulai mengarungi udara dan erat berhubungan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam lapangan teknik penerbangan, terutama dalam beberapa tahun sebelum dan sesudah perang dunia.
Hukum udara dan hukum angkasa merupakan lapangan hukum yang tersendiri, karena hukum udara ini mengatur suatu obyek yang mempunyai sifat yang khusus. Hukum udara internasional mengenal beberapa teori delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Antara lain Schater Air Space Theory diperkenalkan oleh Oscar Scahater. Jenks Free Space Theory (teori ruang angkasa bebas) diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks, Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan Cooper’s Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb Cooper.
Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi ruang udara dan ruang angksa. Mereka memberikan warna tersendiri dan pemahaman yang mendalam serta teliti.
Pendapat mereka dijadikan sebagai doktrina (pendapat para ahli hukum) sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional. Dan dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para hakim dalam memutus sebuah perkara hukum.

B.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
1.           Apakah pengertian hukum udara?
2.           Bagaimana konvensi-konvensi hokum udara ?
3.           Bagaimana status yuridik ruang angkasa?
4.           Bagaimana pembentukan organisasi penerbangan sipil internasional?
5.           Apakah Sumber-sumber hokum internasional?

C.     Tujuan Penulisan
Tujun dari penulisan makalah ini adalah:
1.           Mengetahui apa pengertian hokum udara itu
2.           Mengetahui bagaimana konvensi- konvensi hukum udara itu
3.           Mengetahui bagaimana status yuridik ruang angkasa
4.           Mengetahui Bagaimana pembentukan organisasi penerbangan sipil internasional.
5.           Mengetahui Sumber-sumber penerbangan indonesia




BAB II

PEMBAHASAN

KONSEP HUKUM UDARA DAN ANGKASA

A.             Konsep Hukum Udara

Hukum udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hukum
internasional yang relative baru karena mulai berkembang pada permulaan abad
ke 20 setelah munculnya pesawat udara. Mengenai kelautan Negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von Glahn mengemukakan sejumlah teori yaitu :
a.            Berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti di laut lepas.
b.      Yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki diatas bumi dengan status udara yang diatasnya yang bebas seperti di laut lepas.
c.      Seluruh ruang udara di atas Negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap sebagai udara nasional dengan memberikan hak lintas kepada semua pesawat udara yang terdaftar di Negara-negara sahabat.
d.      Kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas ketinggian.

1.   Pengertian Hukum Udara
Hukum udara adalah seluruh norma-norma hukum yang khusus mengenai penerbangan , pesawat-pesawat terbang dan ruang udara dalam peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan (otto riese dan jean T. Lacour).
Hukum udara dapat ditafsirkan sebagai segala peraturan hukum yang mengatur obyek tertentu, yaitu udara. Dengan tafsiran ini maka pengertian hukum udara akan menjadi sangat luas, karena akan meliputi hukum public nasional dan internasional mengenai udara c).  Status Yuridik Ruang Udara
2.         Wilayah Udara Nasional
Pasal 1 konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan : Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara ang terdapat di atas wilayah. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam konvensi paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.
Hal ini juga dinyatakan oleh pasal 2 konvensi jenewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang hukum laut 1982. Ketentuan- ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan- ketentuan yang mengatur pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma- norma hukum kebiasaan yang memperolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah Negara,yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu Negara.
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamatan atas pesawat- pesawat udara merupakan aspek sangat penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh Negara-negara. Demikianlah untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, Negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional di bidang kerja sama pengawasan ataupun keamanan.
3.         Ruang Udara Internasional
Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut wilayahnya. Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut lepas atau zona-zona dimana Negara- negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen.
Atas alasan keamanan, status kebebasan yang berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin bersifat absolute. Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas laut lepas ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari konvensi. Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawat-pesawat udara public walaupun majelis dari ICAO telah menyarankan kepada Negara-negara pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan- ketentuan yang juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat public yaitu ketentuan- ketentuan udara seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada masing-masing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada diatas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan- peraturan yang berlaku (pasal 12 konvensi).
4.         Pembentukan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Fungsi ICAO adalah untuk mengembangbangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman. Walaupun terdapat interprestasi yang ekstensif atas wewenang yuridiksional dewan dari ICAO, Negara lebih suka menyelesaikan sengketa-sengketa bilaretal mereka melalui cara penyelesaian sengketa yang biasa seperti ke Mahkamah Internasional atau membentuk suatu tribunal arbitral.
Selama perang dingin banyak Negara yang mengajukan pengaduannya ke mahkamah internasional yang menyangkut keamanan penerbangan sipil. Sebagai contoh insiden udara yang terjadi antara iran dan amerika serikat pada tanggal 3 juli 1988.

B.             Konsep Hukum Angkasa

1.    Sejarah Perkembangan
Bila status yuridik laut lepas merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan hokum internasional yang paling tua, maka sebaliknya statusnya yuridik angkasa luar merupakan karya yang paling baru karena hanya berkembang semenjak permulaan tahun 1960 an. Hukum angkasa ini bersifat orisinil bila ditinjau dari kondisi bagaimana lahirnya, dan dari beberapa aspek, hukum angkasa ini juga bersifat klasik kalau dilihat dari karakteristik pokok rejim yuridiknya seperti halnya dengan rezim laut lepas. Pembentukan hukum angkasa luar ini ditandai oleh kecepatan dan kelancaran relative dimana masyarakat internasional dengan segala telah dapat merumuskan kesepakatan- kesepakatan atas sekumpulan prinsip-prinsip dasar segara sesudah peluncuran satelit pertama sputnik oleh uni soviet pada bulan oktober 1957 dan kemudian disusul oleh peluncuran manusia pertama ke angkasa luar, yuri Gagarin, juga dari uni soviet pada tahun 1961.
Kegiatan Negara-negara dibidang eksplorasi dan peman.faatan angkasa luar dengan peluncuran ke angkasa luar berbagai satelit dengan cepat tela menjadi beraneka ragam seperti pengawasan wilayah-wilayah yang dilintasi, pencarian sumber-sumber alam darat dan laut, siaran radio dan televise langsung, hubungan telepon, penentuan posisi kapal-kapal, meteorology, observasi astronom dan berbagai eksperimen lainnya.


2.    Resolusi-Resolusi Majelis Umum
Hukum angkasa luar ini berbeda dari cabang-cabang hukum internasional lainnya mempunyai ciri-ciri khusus yaitu sifat hukumnya yang asli, menyangkut kepentingan yang bersifat universal dan peranan penting yang diamainkan oleh negara-negara adi daya uni soviet dan amerika serikat. Ciri-ciri khas ini terutama peranan kedua Negara adi daya tersebut telah menyebabkan prosedur pembuatan hukum antariksa cukup unik yang dimulai dengan perundingan-perundingan bilateral antara kedua Negara diatas yang dilanjutkan dengan pembahasan- pembahasan di majelis umum PBB. Majelis umum merumuskan prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh resolusi-resolusi dan perjanjian-perjanjian yang bersifat universal.
Pada permulaan awal November 1963, majelis umum menerima sesuatu resolusi mengenai pelucutan senjata (res.1149-Xll) yang berisikan kepeduliannya atas bahaya penggunaan angkasa luar untuk tujuan militer. Kemudian dalam semangat yang sama, majelis umum pada tanggal 17 oktober 1973 menerima resolusi yang meminta Negara-negara anggota untuk tidak menempatkan di orbit benda-benda yang membawa senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya.
Pada tahun 1961 di tahun peluncuran yuri Gagarin dengan pesawat ruang angkasanya, majelis umum pada tanggal 20 desember 1961 menerima resolusi pertamanya bersifat substantive yang mencanangkan prinsip kebebasan ruang angkasa. Dua tahun kemudian pada tahun 1963, majelis umum menerima deklarasi prinsip-prinsip yuridik yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara di bidang eksplorasi dan penggunaan angkasa luar . Deklarasi yang juga diterima oleh amerika serikat dan uni soviet tersebut talah memungkinkan masyarakat internasional untuk merumuskan suatu perjanjian internasional umum mengenai ruang angkasa. Berkat perundingan-perundingan yang berhasil dengan baik antara uni soviet dan amerika serikat dan hasil-hasil karya dari komite penggunaan secara damai angkasa luar, akhirnya majelis umum pada tanggal 19 desember 1966 menerima perjanjian internasional mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara dibidang eksplorasi dan penggunaan angkasa luar termasuk bulan dan benda-benda angkasa alamiah lainnya. Perjanjian ini dapat dianggap sebagai dokumen hukum induk bagi kegiatan-kegiatan di ruang angkasa luar.
Perjanjian ini secara serentak dibuka untuk penandatanganan di London, moskow dan Washington tanggal 27 januari 1967 dan dengan cepat mulai berlaku tanggal 10 oktober tahun yang sama.
Sesuai dengan namanya dan atas keinginanuni soviet dokumen hukum tersebut hanya semacam kerangka yang menyebutkan prinsip-prinsip umum yang selanjutnya harus diperjelas, dirinci dan dilaksanakan.
Komite Penggunaan Secara Damai Ruang Angkasa Luar Pada tahun 1958 segera setelah peluncuran satelit buatan pertama, majelis umum PBB memutuskan untuk mendirikan suatu AD Hoc Commite On the Peacefull Usus of the outer Space.


BAB III

INSTRUMEN HUKUM UDARA


A.    Konvensi Paris 13 Oktober 1919
Pada tanggal 13 oktober 1919, di paris ditandatangani konvensi internasional mengenai navigasi udara yang telah disiapkan oleh suatu komosi khusus yang dibentuk oleh dewan tertinggi Negara- negara sekutu. Konvensi paris tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara.
Disamping itu Negara- negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi. Terhadap Negara-negara bekas musuh, pasal 42 konvensi paris memberikan persyaratan bahwa Negara- negara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi anggota pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau paling tidak atas keputusan dari ¾ Negara-negara pihak pada konvensi. Pada tahun 1929, setelah direvesi dengan protocol 15 juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan jerman dalam LBB, konvensi paris 1919 betul-betul menjadi konvensi yang bersifat umum karena sejak mulai berlakunya protocol tersebut tahun 1933,53 negara telah menjadi pihak. Perubahan tersebut dilakukan oleh komisi Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal 10-15 juni 1929.
Rezim baru tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.   Negara-negara bukan pihak pada konvensi 1919 dapat diterima tanpa syarat apakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam perang dunia
b.   Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan khusus dengan Negara-negara yang bukan merupakan pihak pada konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak bertentangan dengan hak- hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum konvensi.
c.   Protocol 1929 meletakkana prinsip kesama yang absolute bagi semua Negara dalam komisi internasional. Masing-masing Negara pihak tidak boleh lebih dari dua wakil dalam komisi dan hanya memiliki satu suara.
B.    Konvensi Chicago 1944
Konferensi Chicago membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu:
a.   Konsep internasionalisasi yang disarankan australi dan selandia baru.
b.   Konsep amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprise.
c.   Konsep intermedier inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Setelah melalui pendebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris diterima oleh konferensi. Pada akhir konverensi sidang menerima tiga insrtumen yaitu :
1.    Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional
2.    Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara internasional
3.    Persetujuan mengenai alat angkutan udara internasional.
Konvensi Chicago 7 desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 april 1947. Uni soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan konvensi paris 1919, demikian juga konvensi interamerika Havana 1928. Seperti konvensi paris 1919, konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan- kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.
C.   Perjanjian-perjanjian Internasional Yang Diterima Majelis Umum
Sebagai kelanjutan deklarasi 1963 dan perjanjian internasional 1967, majelis umum menerima 4 perjanjian tambahan yang melengkapi dari mengembangkan dokumen-dokumen yang telah ada yaitu:
a.      Persetujuan mengenai penyelamatan astronot, pengembalian astronot dan resitusi benda-benda yang diluncurkan keruang angkasa tanggal 22 april 1968, Res. No.2345 (XXII).
b.      Konvensi mengenai tanggung jawab internasional untuk kerugian yang disebabkan benda-benda spasil tanggal 29 maret 1972, Res. 2223 (XXIX) 19 desember 1966.
c.      Konvensi mengenai imatrikulasi benda- benda yang duiluncurkan ke angkasa luar tanggal 14 januari 1975, Res. 3235 (XXIX).
d.      Persetujuan yang mengatur kegiatan- kegiatan Negara di bulan dan benda-benda ruang angkasa lain, tanggal 18 desember 1979, Res 34/68.
e.   Kegiatan-kegiatan dan sumber-sumber PBB, badan-badan khusus dan badan- badan internasional lainnya mengenai penggunaan secara damai ruang angkasa luar.
f.    Kerjasama internasional dan program- program di bidang yang kiranya dapat dilakukan dibawah naungan PBB.
g.   Pengaturan-pengaturan organisasi untuk mempermudah kerjasama internasional dalam rangka PBB.
h.   Masal-masal hukum yang dapat muncul dalam kegiatan eksplorasi ruang angkasa ada juga beberapa teori yang dilahirkan dari Organisasi Internasional, Perjanjian Internasional, Cara Bekerja Sebuah Pesawat Angkasa, Cara Bekerja Transmisi Gelombang Radio, Teori Orbit Satelit.
Antara lain :
a)                Teori ICAO (International Civil Aviation Organization).
                      Teori ini berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap annex- nya yang menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional.
                    Dimulai batas maksimum yang dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can derive support in the atmosphere from the reaction of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan secara jelas dan pasti batas ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang udaranya. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.
b)          Teori Transmisi Radio.
Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar melalui perantaraan konduktor atmosfir udara dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi ketinggian berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan bumi.
c)    Teori Outer Space Treaty 1967.
Teori ini memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah orbit suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.

d)    Teori GSO (Geo Stationary Orbit).
Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong” dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa termasuk Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin ketinggian berkisar 36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan negara- negara equator (khatulistiwa) untuk memperoleh preferential rights atas GSO (Ida Bagus Rahmadi Supancana, E Saefullah Wiradipradja, Mieke Komar Kantaatmadja, 1988). Ide ini diusulkan pada sidang ke-22 sub komite hokum UNCOPOUS (United Nations Committee of Peacefull of Outer Space) untuk memperkuat argumentasi yuridis atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negara- negara khatulistiwa.
e)       Teori Pesawat Lockheed U-2
Milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang berkisar 78. 000 kaki. Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR. Sehingga menimbulkan perang argumentasi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika karena pesawat udaranya telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah ruang angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR berpegang pada Air Code Soviet yang berbunyi:
“The Complete and exclusive sovereignity over the airspace of USSR shall be long to the USSR.Air space of USSR shall be deemed to be the air space above the land and water territory of the USSR including the space above territorial waters as determined by laws of USSR and by international treaties”
f)   Teori Space Shuttle atau teori Orbiter.
Untuk,memperkuat argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik yang banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara.
Beberapa ilmuan hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hokum ruang angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum udara internasional. Karena sifat- sifat kendaraan tersebut selalu berubah- ubah, kadang sifatnya sebagai pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono, 1987). Untuk memperkuat argumen yuridis berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan misinya.
Meluncur ke ruang angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching (peluncuran), tahap orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke bumi memasuki atmosfir). Turunya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori tersebut adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari permukaan bumi.



BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Masalah penetapan garis batas antara ruang udara dan ruang angkasa adalah suatu kenyataan bahwa Negara- negara di dunia ini mengakui perlu adanya penegasan mengenai perbatasan antara ruang udara yang berada dalam kedaulatan penuh suatu Negara dan ruang angkasa yang bebas dan hanya digunakan untuk kepentingan kemanusiaan dan perdamaian.
Status hukum pesawat angkasa bolak-balik ini telah mulai dipersoalkan sejak tahun 1974, pada saat pembuatan konvensi tentang registrasi benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa(registration convention 1974). Para ahli hukum pada umumnya berpendpat bahwa “space shuttle” mempunyai status hukum pesawat angkasa, bukan sebagai pesawat udara, karenanya tunduk pada ketentuan- ketentuan hukum angkasa dan tidak pada konvensi Chicago 1944 serta peraturan- peraturan hukum udara lainnya. Teori ini lahir untuk memperkuat argumentasi klaim batas kedaulatan sebuah negara atas ruang udara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum udara internasional. Namun teori ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui batas ketinggian jelajah pesawat udara komersial. Sehingga apabila terjadi kecelakaan pesawat udara. Dapat dipakai sebagai dasar argumentasi

B. Saran
Dari pernyataan diatas maka harus ada penegasan pembatasan antara pesawat udara dan pesawat angkasa agar tidak terjadi kesalahan paham atas batas- batasnya. Oleh karena itu dibuatlah hukum-hukum mengenai keduanya itu.



DAFTAR PUSTAKA

  • Mieke komar kontaatmadja.1989.Hukum Udara dan Angkasa. Remaja Karya.Bandung.
  • Suherman.1978. Hukum Udara Indonesia dan Internasional.Alumni.Bandung.
  • Junaidi indrawadi.2006.hukum internasional.Proyek Sitem Penyusunan Program Pedoman dan Penganggaran.Padang
  • Laode Muh Syahartian SH MH, dekan Fakultas Hukum Universitas Putra Bangsa Surabaya. Kontak person: 081 331 87083 Email: laode.syahartian@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan tanda bahwa anda pernah di sini !